Perkembangan
Akuntansi Di Indonesia
A.
Pengertian
Akuntansi
Akuntansi adalah pengukuran, penjabaran, atau
pemberian kepastian mengenai informasi yang akan membantu manajer, investor,
otoritas pajak dan pembuat keputusan lain untuk
membuat alokasi sumber daya keputusan di dalam perusahaan, organisasi, dan lembaga pemerintah. Akuntansi
adalah seni dalam mengukur, berkomunikasi dan menginterpretasikan aktivitas
keuangan. Secara luas, akuntansi juga dikenal sebagai "bahasa
bisnis".[1] Akuntansi
bertujuan untuk menyiapkan suatu laporan keuangan yang akurat agar dapat
dimanfaatkan oleh para manajer, pengambil kebijakan, dan pihak berkepentingan
lainnya, seperti pemegang saham, kreditur, atau pemilik. Pencatatan harian yang
terlibat dalam proses ini dikenal dengan istilah pembukuan. Akuntansi keuangan
adalah suatu cabang dari akuntansi dimana informasi keuangan pada suatu bisnis
dicatat, diklasifikasi, diringkas, diinterpretasikan, dan dikomunikasikan.
Auditing, satu disiplin ilmu yang terkait tapi tetap terpisah dari akuntansi,
adalah suatu proses dimana pemeriksa independen memeriksa laporan keuangan suatu organisasi untuk memberikan
suatu pendapat atau opini - yang masuk akal tapi tak dijamin sepenuhnya -
mengenai kewajaran dan kesesuaiannya dengan prinsip akuntansi yang berterima
umum. Praktisi akuntansi dikenal sebagai akuntan. Akuntan bersertifikat resmi memiliki
gelar tertentu yang berbeda di tiap negara. Contohnya adalah Chartered Accountant (FCA, CA or ACA), Chartered Certified Accountant (ACCA atau FCCA), Management Accountant (ACMA, FCMA atau AICWA), Certified Public Accountant (CPA), dan Certified General
Accountant (CGA). Di Indonesia, akuntan publik yang bersertifikat
disebut CPA Indonesia (sebelumnya: BAP atau Bersertifikat Akuntan Publik).
B. Periodisasi Perkembangan Akuntansi Di
Indonesia
Periodisasi
perkembangan akuntansi di Indonesia dapat dibagi atas :
1. Zaman Kolonial
Zaman VOC
Sebelum bangsa Eropa: Portugis, Spanyol,
dan Belanda masuk ke Indonesia transaksi dagang dilakukan secara barter. Cara
ini tidak melakukan pencatatan. Pada waktu orang –orang Belanda datang ke
Indonesia kurang lebih akhir abad ke-16, mereka datang dengan tujuan untuk
berdagang kemudian mereka membentuk perserikatan Maskapai Belanda yang dikenal
dengan nama Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) , yang didirikan pada tahun 1602, sebagai peleburan dari 14
maskapai yang beroprasi di Hindia Timur. Selanjutnya VOC membuka cabangnya di
Batavia tahun 1619 dan di tempat-tempat lain di Indonesia. Kemudian dibentuk
jabatan Gubernur Jenderal untuk menangani urusan-urusan VOC. Akhir abad ke-18
VOC mengalami kemunduran dan akhirnya dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Dalam kurun waktu itu, VOC memperoleh hak
monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan secara paksa di Indonesia,
dimana jumlah transaksi dagangnya, baik frekuensi maupun nilainya terus
bertambah dari waktu ke waktu. Pada tahun itu bisa dipastikan Maskapai Belanda
telah melakukan pencatatan atas mutasi transaksi keuangan. Dalam hubungan itu, Ans Saribanon Sapiie (1980),
mengemukakan bahwa menurut Stible dan Stroomberg, bukti autentik mengenai
catatan pembukuan di Indonesia paling tidak sudah ada menjelang pertengahan
abad ke-17. Hal itu ditunjukkan dengana adanya sebuah Instruksi Gubernur
Jenderal VOC pada tahun 1642 yang mengharuskan dilakukan pengurusan pembukuan
atas penerimaan uang, pinjaman-pinjaman, dn jumlah uang yang diperlukan untuk
penegeluaran (eksplorasi) garnisun-garnisun dan galangan kapal yang ada di
Batavia dan Surabaya.
2. Zaman Penjajahan Belanda
Setelah VOC bubar pada tahun 1799,
kekuasaannya diambil alih oleh Kerajaan Belanda, zaman penjajahan Belanda
dimulai tahun 1800-1942. Pada waktu itu, catatan pembukuan menekankan pada
mekanisme debet dan kredit, yang diantara lain dijumpai pada pembukuan Amphioen
Socyteit di Batavia. Amphioen socyteit bergerak dalam usaha morfin (amphioen) yang merupakan usaha monopoli di Belanda.
Pada abad ke-19 banyak perusahaan Belanda
didirikan atau masuk ke Indonesia dengan membuka cabang atau perwakilan, yang
antara lain sebagai berikut :
·
Deli
Maatschaappij (perkebunan)
·
Biliton
Maatschaappij (timah)
·
Bataafche
Petroleum Maatschaappij (minyak)
·
Koninklijke
Paketvaart Maatschaappij (pelayaran nusantara), setelah dinasionalisasikan oleh
pemerintah RI menjadi perusahaan pelayaran nasional (PELNI)
·
Rotterdamsch
Lloyd (maskapai atau agen pelayaran internasional), setelah dinasionalisasikan
menjadi Djakarta Lloyd
·
Koninklijke
Nederlands Indische Luhtvaart Maatschaappij (penerbangan nusantara), setelah
dinasionalisasikan menjadi Garuda Indonesia Airways
·
Stoomvart
Maatschaappij Nederlands
·
Firma
Ruys of de Oost
·
Nederlands
Handel’s Bank
·
Algeme
Handel’s Bank
Untuk mengangkut hasil produksi perkebunan dan tambang, dibuka jalan kereta
api dari daerah asal menuju ke pelabuhan. Kereta api yang pertama diadakan pada
tahun 1870 yang menghubungkan antara daerah pedalaman Jawa Tengah dengan
Semarang, menyusul dari pedalaman Jawa Barat ke pelabuhan Tanjung Priok, dari
pedalaman Jawa Timur ke pelabuhan Tanjung perak dan dri pedalaman Sumatra
Selatan ke Palembang. Di samping jalan kereta api juga dibangun dan/atau
ditingkatkan ke jalan darat untuk melancarkan arus produksi perkebunandan
pertambangan ke kota-kota pelabuhan.
Catatan
pembukuannya merupakan modifikasi sistem Venesia-Italia, dan tidak dijumpai
adanya kerangka pemikiran konseptual untuk mengembangkan sistem pencatatan
tersebut karena kondisinya sangat menekankan pada praktik-praktik dagang yang
semata-,mata untuk kepentingan perusahaan Belanda. Sedangkan, segmen bisnis
menengah kebawah dikuasai oleh pedagang keturunan, yaitu : Cina, India, dan
Arab. Sejalan dengan itu, ada kebebasan dalam penyelenggaraan pembukuan
sehingga praktik pembukuannya menggunakan atau dipengaruhi oleh sistem asal
etnis yang bersangkutan.
Hadibroto (1992) mengihtisarkan sistem pembukuan asal
etnis sebagai berikut:
1)
Sistem pembukuan Cina, terdiri dari 5
kelompok, yaitu :
·
Sistem Hokkian (amoy)
·
Sitem Kanton
·
Sistem Hokka
·
Sistem Tio Tjoe atau sistem Swatow
·
Sistem Gaya Baru (New system).
2)
Sistem pembukuan India atau Sistem
Bombay
3)
Sistem pembukuan arab atau Hadramaut
C.
Sejarah Akuntansi di Indonesia
Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusur pada era
penjajahan Belanda sekitar 17 (ADB 2003) atau sekitar tahun 1642 (Soemarso
1995). Jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat
ditemui pada tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen
Sociteyt yang berkedudukan di Jakarta (Soemarso 1995). Pada era ini Belanda
mengenalkan sistem pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping)
sebagaimana yang dikembangkan oleh Luca Pacioli. Perusahaan VOC milik
Belanda-yang merupakan organisasi komersial utama selama masa
penjajahan-memainkan peranan penting dalam praktik bisnis di Indonesia selama
era ini (Diga dan Yunus 1997).
Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama
tahun 1800an dan awal tahun 1900an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam
paksa sehingga pengusaha Belanda banyak yang menanmkan modalnya di Indonesia.
Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan
dan juru buku yang terlatih. Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan
di Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995). Peluang terhadap kebutuhan audit
ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia
untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan
manufaktur (Yunus 1990). Internal auditor yang pertama kali datang di Indonesia
adalah J.W Labrijn-yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang
pertama yang melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan
perusahaan) adalah Van Schagen yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907
(Soemarso 1995).
Pengiriman Van Schagen merupakan titik tolak berdirinya
Jawatan Akuntan Negara (Government Accountant Dienst) yang terbentuk
pada tahun 1915 (Soermarso 1995). Akuntan publik yang pertama adalah Frese
& Hogeweg yang mendirikan kantor di Indonesia pada tahun 1918.
Pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor akuntan
H.Y.Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak-Belasting
Accountant Dienst (Soemarso 1995).
Kesempatan bagi akuntan lokal (Indonesia) mulai muncul pada
tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Pada tahun 1947 hanya
ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari
(Soermarso 1995). Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan selama era
setelah kemerdekaan (1950an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih
didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda. Nasionalisasi atas perusahaan
yang dimiliki Belanda dan pindahnya orang orang Belanda dari Indonesia pada
tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli (Diga dan Yunus
1997).
Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia
pada akhirnya berpaling ke praktik akuntansi model Amerika. Namun demikian,
pada era ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi
model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah. Makin meningkatnya
jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi-seperti
pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institute Ilmu
Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-STAN) 1990, Univesitas Padjajaran
1961, Universitas Sumatera Utara 1962, Universitas Airlangga 1962 dan Universitas
Gadjah Mada 1964 (Soermarso 1995)-telah mendorong pergantian praktik akuntansi
model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960 (ADB 2003). Selanjutnya,
pada tahun 1970 semua lembaga harus mengadopsi sistem akuntansi model Amerika
(Diga dan Yunus 1997).
Pada pertengahan tahun 1980an, sekelompok tehnokrat muncul
dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok
tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif dan lebih
berorientasi pada pasar-dengan dukungan praktik akuntansi yang baik. Kebijakan
kelompok tersebut memperoleh dukungan yang kuat dari investor asing dan lembaga-lembaga
internasional (Rosser 1999). Sebelum perbaikan pasar modal dan pengenalan
reformasi akuntansi tahun 1980an dan awal 1990an, dalam praktik banyak ditemui
perusahaan yang memiliki tiga jenis pembukuan-satu untuk menunjukkan gambaran
sebenarnya dari perusahaan dan untuk dasar pengambilan keputusan; satu untuk
menunjukkan hasil yang positif dengan maksud agar dapat digunakan untuk mengajukan
pinjaman/kredit dari bank domestik dan asing; dan satu lagi yang menjukkan
hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak (Kwik 1994).
Pada awal tahun 1990an, tekanan untuk memperbaiki kualitas
pelaporan keuangan muncul seiring dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan
keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan dan perilaku investor. Skandal
pertama adalah kasus Bank Duta (bank swasta yang dimiliki oleh tiga yayasan
yang dikendalikan presiden Suharto). Bank Duta go public pada tahun 1990
tetapi gagal mengungkapkan kerugian yang jumlah besar (ADB 2003). Bank Duta
juga tidak menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau underwriternya
tentang masalah tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta mengeluarkan opini wajar
tanpa pengecualian. Kasus ini diikuti oleh kasus Plaza Indonesia Realty
(pertengahan 1992) dan Barito Pacific Timber (1993). Rosser (1999) mengatakan
bahwa bagi pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan keuangan harus diperbaiki
jika memang pemerintah menginginkan adanya transformasi pasar modal dari model
“casino” menjadi model yang dapat memobilisasi aliran investasi jangka
panjang.
Berbagai skandal tersebut telah mendorong pemerintah dan
badan berwenang untuk mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat berkaitan
dengan pelaporan keuangan. Pertama, pada September 1994, pemerintah melalui IAI
mengadopsi seperangkat standar akuntansi keuangan, yang dikenal dengan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Kedua, Pemerintah bekerja sama
dengan Bank Dunia (World Bank) melaksanakan Proyek Pengembangan Akuntansi yang
ditujukan untuk mengembangkan regulasi akuntansi dan melatih profesi akuntansi.
Ketiga, pada tahun 1995, pemerintah membuat berbagai aturan berkaitan dengan
akuntansi dalam Undang Undang Perseroan Terbatas. Keempat, pada tahun 1995
pemerintah memasukkan aspek akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang
Pasar Modal (Rosser 1999).
Jatuhnya nilai rupiah pada tahun 1997-1998 makin meningkatkan
tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan. Sampai
awal 1998, kebangkrutan konglomarat, collapsenya sistem perbankan,
meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan
IMF dan melakukan negosiasi atas berbagaai paket penyelamat yang ditawarkan
IMF. Pada waktu ini, kesalahan secara tidak langsung diarahkan pada buruknya
praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi (transparency).
D.
Perkembangan Akuntansi di Inonesia
Perkembangan akuntansi di Indonesia, pada mulanya menganut
sistem kontinental, sama seperti yang di pakai Belanda. Sistem kontinental ini,
yang di sebut juga Tata Buku atau Pembukuan,
yang sebenarnya tidak sama dengan akuntansi, karena Tata Buku
(Bookkeeping) adalah elemen prosedural dari akuntansi
sebagaimana aritmatika adalah elemen prosedural dari matematika. Selain itu,
terletak perbedaan antara tata buku dengan Akuntansi, yakni :
·
Tata
Buku (Bookkeeping) :
menyangkut kegiatan – kegiatan proses akuntansi seperti pencatatan,
peringkasan, penggolongan, dan aktivitas – aktivitas lain yang bertujuan untuk
menghasilkan informasi akuntansi yang berdasarkan pada data.
·
Akuntansi (Accounting) : menyangkut kegiatan – kegiatan
analisis dan interprestasi berdasarkan informasi akuntansi.
Seiring perkembangan, selanjutnya tata buku mulai di
tinggalkan orang. Di Indonesia, orang atau perusahaan semakin banyak menerapkan
sistem akuntansi Anglo Saxonyang berasal dari Amerika,
dan ini di sebabkan oleh :
1.
Pada
tahun 1957, Adanya konfrontasi Irian Barat antara Indonesia – Belanda yang
membuat seluruh pelajar Indonesia yang sekolah di Belanda di tarik kembali dan
dapat melanjutkan kembali studinya di berbagai negara (termasuk Amerika),
terkecuali negara Belanda.
2.
Hampir
sebagian besar mereka yang berperan dalam kegiatan pengembangan akuntansi
menyelesaikan pendidikannya di Amerika, dan menerapkan sistem akuntansi Anglo
Saxon di Indonesia. Sehingga sistem ini lebih dominan di gunakan
daripada sistem Kontinental / Tata buku di Indonesia.
3.
Dengan
adanya sistem akuntansi Anglo Saxon, Penanaman Modal Asing
(PMA) di Indonesia membawa dampak positif terhadap perkembangan akuntansi.
Selain
itu, terdapat beberapa perbedaan istilah antara tata buku dan akuntansi, yaitu
:
-Istilah
“ perkiraan ”, menjadi “ akun ”;
-Istilah
“ neraca lajur ”, menjadi “ kertas kerja ” ; dan lain – lain.
Di Indonesia, Komite Prinsip Akuntansi (KPA) merumuskan
Standar Akuntansi untuk di sahkan oleh Pengawas Pusat Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) sebagai Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan berfungsi
untuk menyesuaikan dan menyusun laporan keuangan yang di keluarkan oleh pihak
ekstern. Sejalan dengan perkembangan ekonomi, hubungan dagang antarnegara pada
masa – masa kerajaan di masa lalu seperti Majapahit, Mataram, Sriwijaya,
menjadi pintu masuk akuntansi dari negara lain ke Indonesia. Meskipun demikian,
belum terdapat penelitian yang memadai mengenai sejarah akuntansi di Indonesia.
Masa
perkembangan akuntansi di Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Masa
Penjajahan Belanda dan Jepang
Kedatangan bangsa Belanda di
Indonesia akhir abad ke-16 awalnya untuk berdagang, kemudian Belanda membentuk
perserikatan maskapai Belanda yang dikenal dengan Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC). Pada tahun 1602, terjadi peleburan 14 maskapai yang beroperasi
di Hindia Timur, yang selanjutnya di tahun 1619 membuka cabang di Batavia dan
kota-kota lainnya di Indonesia. Perjalanan VOC ini berakhir pada tahun 1799 dan
setelah VOC dibubarkan, kekuasaan diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Sejak
masa itulah mulai tumbuh perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Catatan
pembukuan saat itu menekankan pada mekanisme debit dan kredit berdasarkan
praktik dagang yang semata-mata untuk kepentingan perusahaan Belanda. Pada masa
ini, sektor us aha kecil dan menengah umumnya dikuasai oieh masyarakat Cina,
India, dan Arab yang praktik akuntansinya menggunakan atau dipengaruhi oieh
sistem dari negara mereka masing-masing. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942
sampai 1945, sistem akuntansi tidak banyak mengalami perubahan, yaitu tetap
menggunakan pola Belanda.
2.
Masa Kemerdekaan
Sistem akuntansi yang beriaku di
Indonesia mengikuti sejarah masa lampau dari masa kolonial Belanda, maka sistem
akuntansinya mengikuti akuntansi Belanda yang dikenal dengan Sistem Tata Buku.
Sistem Tata Buku ini merupakan subsistem akuntansi atau hanya merupakan metode
pencatatan.
Setelah masa penjajahan Belanda
berakhir dan masuk ke dalam masa kemerdekaan, banyak perusahaan milik Belanda
yang dirasionalisasi yang diikuti pula dengan masuknya berbagai investor asing,
terutama Amerika Serikat. Para investor tersebut memperkenalkan sistem
akuntansi Amerika Serikat ke Indonesia.
Akuntansi masa kini telah berkembang
dalam tahap masa kedewasaan menjadi suatu aspek integral dari bisnis dan
keuangan global. Keputusan yang berasal dari data-data akuntansi, pengetahuan
mengenai isu-isu akuntansi internasional menjadi sangat penting untuk
mendapatkan interpretasi dan pemahaman yang tepat dalam komunikasi bisnis
internasional.
Sejarah akuntansi dan akuntan,
memperlihatkan perubahan yang terus menerus secara konsisten. Pada suatu waktu,
akuntansi lebih mirip sistem pencatatan bagi jasa-jasa perbankan tertentu dan
bagi rencana pengumpulan pajak. Kemudian muncul pembukuan double entry untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan usaha perdagangan. Saat ini akuntansi beroperasi
dalam lingkungan perilaku, sektor publik dan Internasional. Akuntansi menyediakan
informasi bagi pasar modal-pasar modal besar, baik domestik maupun
internasional.
Tidak
banyak perubahan sistem akuntansi di Indonesia pada masa penjajahan Jepang.
Setelah kemerdekaan pemerintah RI mempunyai kesempatan mengirimkan
putra-putrinya belajar akuntansi ke luar negeri. Sedangkan pendidikan akuntansi di dalam negeri mulai dirintis
fiada tahun 1952 oleh Universitas Indonesia yang membuka jurusan Akuntansi di
Fakultas Ekonominya. Langkah ini diikuti oleh perguruan tinggi lainnya. Pada
tahun 1954 keluarlah UU No. 34 yang mengatur pemberian gelar Akuntan. Suatu
organisasi profesi yang menghimpun para akuntan di Indonesia berdiri pada 23
Desember 1957 dan diberi nama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Organisasi ini
mendirikan seksi Akuntan Publik tahun 1978 dan seksi Akuntan Pendidik
tahun 1986.
UU
Penanaman Modal Asing dikeluarkan tahun 1967 dan disusul UU Penanaman Modal
Dalam Negeri tahun 1968. Selanjutnya keduanya merangsang berdirinya
perusahaan-perusahaan baru yang mengakibatkan semakin baiknya iklim investasi
di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, akuntansi di Indonesia
mengalami perkembangan yang pesat.
Selama
ini terjadi dualisme praktek akuntansi di Indonesia. Di satu pihak banyak
perusahaan menerapkan sistem akuntansi Belanda. Di pihak lain, sistem akuntansi
Amerika semakin banyak digunakan akibat semakin bergesernya kiblat pendidikan akuntansi
ke sistem Amerika serta semakin banyaknya perusahaan yang membawa sistem
Amerika masuk ke Indonesia.
Dualisme
tersebut juga berpengaruh pada dunia pendidikan,
terutama di tingkat pendidikan menengah. Akan tetapi, dalam Lokakarya “Pendidikan Akuntansi di Indonesia”
yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, telah dicapai kesepakatan sistem pendidikan akuntansi
untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang menggunakan sistem
Amerika.
Sumber :